Soal CPNS 2018

Opini : Gula-gula Rekrutmen CPNS

Ada benang merah antara defisit anggaran, pembengkakan belanja pegawai dan rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS). Kesulitan keuangan yang akhir-akhir ini semakin dirasakan pemerintah daerah sehingga pada titik ekstrem sering disebut potensial membangkrutkaan pemerintah daerah, paling utama disebabkan tingginya anggaran belanja pegawai.

Rata-rata lebih dari 60% anggaran daerah (APBD) terserap untuk membiayai kebutuhan pegawai. Sejumlah kalangan menilai tingginya belanja pegawai itu salah satunya diakibatkan jumlah pegawai (PNS) yang sangat banyak. Dalam konteks tersebut kemudian berkembang wacana penghentian sementara (moratorium) rekrutmen CPNS.

Pro-kontra terhadap rencana moratorium rekrutmen CPNS bermunculan. Pemerintah pusat (Kementerian Dalam Negeri) dan DPRD kabupaten/kota merupakan sebagian pihak yang gencar mendesak perlunya penghentian sementara rekrutmen CPNS. Sedangkan eksekutif di daerah cenderung berada dalam posisi sebaliknya. Bahkan, sejumlah daerah sudah bersiap-siap menyelenggarakan seleksi CPNS tahun ini. Hal ini terbukti dari tercantumnya pos anggaran untuk seleksi CPNS dalam APBD. Kebutuhan anggaran untuk membiayai belanja pegawai memang cukup memberatkan APBD, namun seringkali hal itu tidak menyurutkan pemerintah daerah (terutama eksekutif) untuk menyelenggarakan rekrutmen CPNS setiap tahun.

Motif rekrutmen
Jika penambahan CPNS berpotensi menambah beban anggaran, mengapa kebijakan itu rutin dilakukan setiap tahun? Terdapat beragam motif, baik positif maupun negatif, yang bisa dikembangkan dari jawaban atas pertanyaan tersebut. Motif yang bernada positif, antara lain,pertama, proses rekrutmen CPNS merupakan wahana untuk mencari sumber daya manusia yang kompeten dan tepat bagi birokrasi.

Upaya untuk membenahi kinerja birokrasi dengan jalan memperbaiki input SDM merupakan langkah yang perlu didukung. Birokrasi memang sudah seharusnya diisi oleh pegawai-pegawai yang berkualitas dan berkompeten sesuai kebutuhan organisasi. Pertanyaannya, sudahkah birokrat (pemerintah) memetakan secara akurat kebutuhan riil dari setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)? Ataukah hanya berdasar “pesanan” masing-masing SKPD yang cenderung subjektif ?
Pada saat rekrutmen, beranikah menjamin proses seleksi berjalan dengan kompetitif dan objektif sehingga menghasilkan calon-calon pegawai yang andal? Atau sekadar formalitas untuk meloloskan calon yang tidak kredibel? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi tantangan untuk mewujudkan tujuan dari motif pertama ini.

Kedua, motif positif lain dari rekrutmen CPNS ialah lebih terjaminnya pola kaderisasi dalam organisasi. Rutinitas tahunan rekrutmen pegawai secara tidak langsung akan memberikan “pasokan” SDM yang ajek sehingga kecil kemungkinan terjadi kekosongan “generasi” di birokrasi. Bisa dibayangkan, organisasi yang sekian lama tidak merekrut pegawai baru, suatu saat organisasi itu akan berpotensi mengalami kesulitan dalam mendapatkan calon pemimpin. Masalah regenerasi menjadi titik strategis dalam kebijakan rekrutmen pegawai baru.

Kepentingan negatif
Namun, selain sisi positif di atas, di balik rekrutmen CPNS ada kemungkinan disusupi motif-motif yang bernada negatif. Motif negatif inilah yang mestinya diwaspadai dan dihindari. Motif negatif itu,pertama, rekrutmen pegawai baru hanya sekadar untuk memperbesar birokrasi dengan tujuan meringankan kerja birokrat (SKPD). Nalar sederhananya, semakin banyak orang yang mengerjakan suatu tugas semakin ringan pekerjaan tersebut. Kecenderungan dari motif ini bisa dilihat dari permintaan pegawai baru dari setiap SKPD yang seringkali tidak rasional. Bukan rahasia lagi bila kinerja PNS umumnya sekarang ini masih dianggap lemah. Prinsip “siapa menghasilkan apa” (soaloutput/outcome) di kalangan birokrasi pemerintahan tampaknya masih belum memperlihatkan hasil menggembirakan.

Penambahan pegawai baru dalam situasi demikian dikhawatirkan tidak akan membawa perbaikan yang signifikan. Sebaliknya, pemborosan anggaranlah implikasi yang kemungkinan diterima. Kedua, untuk memperbesar dukungan politik. Berkaca dari masa lalu, birokrasi (baca: PNS) biasa dijadikan pendukung bagi pihak yang berkuasa. Di masa kini, upaya merebut simpati PNS (sembunyi-sembunyi atau terang-terangan) terkadang masih dilakukan oleh calon kepala daerah (terutama incumbent) yang akan bertarung dalam Pilkada.

Ketiga, rekrutmen CPNS dimanfaatkan sebagai “kanalisasi” sosial untuk mengatasi masalah pengangguran. Harus diakui, kebijakan rekrutmen CPNS berhasil memberi harapan baru (sesaat) kepada para pencari kerja. Terbukti dari berlimpahnya para pendaftar setiap ada seleksi penerimaan CPNS.

Tetapi, bukan berarti kebijakan rekrutmen CPNS berhasil pula sebagai solusi atas persoalan pengangguran. Sebab, bagaimanapun juga hanya sebagian kecil dari para pencari kerja yang tertampung dalam kereta birokrasi pemerintah. Bisa jadi yang terjadi justru sisi negatif, yakni ketergantungan para pencari kerja terhadap lowongan CPNS dan bukan mendorong penciptaan lapangan kerja sendiri.

Keempat, motif yang paling “berbahaya” adalah pemanfaatan kebijakan rekrutmen CPNS sebagai “proyek”. Penerimaan pegawai baru pemerintah seringkali ditunggu-tunggu pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya sebagai proyek kolusi dan nepotisme. Entah memang benar-benar berperan dalam meloloskan calon atau hanya menjadi penumpang gelap yang memanfaatkan situasi, para calo tersebut menawarkan kursi CPNS dengan konsesi tertentu. Motif berupa materi, hubungan kekeluargaan dan koncoisme biasa melandasi kepentingan “proyek” tersebut.

Perlukah moratorium?
Rekrutmen atau tidak rekrutmen CPNS, masing-masing memiliki nilai lebih dan kurangnya. Terburu-buru melakukan penerimaan pegawai baru saat ini dipandang kurang bijak, namun terlalu lama tidak melakukan rekrutmen juga tidak baik.
Saya memandang ada yang lebih penting dan mendesak dari sekadar isu rekrutmen CPNS, yaitu bagaimana birokrasi menata organisasinya terlebih dahulu. Benahi struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) yang sekarang masih jauh dari kata efisien dan efektif.

Pemerintah harus objektif dalam menyusun SOTK berdasar kebutuhan nyata di masyarakat, dan bukan mengikuti kehendak elite-elite birokrat. Eksekutif dan legislatif semestinya tegas dalam menata SOTK yang “miskin struktur kaya fungsi”.
Terseok-seoknya anggaran pemerintah akibat beban belanja pegawai hendaknya menjadi peringatan keras bagi pemangku kepentingan di daerah untuk menata SOTK dengan postur yang lebih ramping dan responsif terhadap pelayanan publik.
Dari SOTK yang tertata baik akan diketahui SKPD/unit-unit kerja apa yang dibutuhkan dan harus ada dalam organisasi. Kompetensi pegawai seperti apa sebagai operatornya. Serta berapa jumlah pegawai yang tepat untuk mengoperasikannya. Dengan demikian, tidak terjadi struktur dan pegawai yang miskin pekerjaan di satu sisi, sementara terdapat struktur dan pegawai yang super sibuk atau kelebihan beban kerja di sisi lain.

Berdasar penataan seperti itu diharapkan birokrasi mampu mewujudkan kinerja lebih baik. Sungguh aneh jika SOTK belum tertata baik, tapi permintaan kebutuhan pegawai terus disuarakan. Misal, bagaimana logikanya buru-buru mengaku kekurangan tenaga guru sementara penggabungan sekolah akibat kekurangan murid akan dilakukan? Idealnya, lakukan dulu penataan sekolah, baru akan ketahuan guru apa yang dibutuhkan dan berapa jumlahnya.

Dengan kata lain, sebenarnya masalah mendasar kepegawaian kita bukan pada kuantitas pegawai, tetapi persoalan kompetensi dan penataannya. Jadi, apakah moratorium atau apapun istilahnya, pemerintah tampaknya masih perlu waktu untuk memetakan kembali soal kompetensi pegawai khususnya dan penataan birokrasi pada umumnya.
Tujuannya, kebijakan rekrutmen pegawai yang akan dilakukan menjadi lebih bermakna dan tidak diboncengi motif/ekses negatif atau cuma sekadar gula-gula yang tidak memberi arti bagi peningkatan pelayanan publik.

Didik G Suharto, pengajar Administrasi Negara, FISIP UNS \ Sumber: solopos.com

Kisi-kisi Soal CPNS dan PPPK 2021

Check Also

Masalah KTP yang Wajib Diketahui saat Daftar CPNS (Pahami Sampai Tuntas)

Pemerintah telah mengumumkan seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) pada 28 Oktober 2019 lalu. Seleksi …

2 comments

  1. sebenarnya inti masalah bangsa sederhana, yaitu kkn. berantas kkn sampai ke akar-akarnya pasti bangsa indonesia maju.

  2. memperhatikan keadaan bangsa dan kebutuhan sdm khususnya untuk mengelola administrasi negara amatlah terlupakan selama ini..setelah ada pandangan bahwa ada beberapa daerah akan bangkrut karena beban biaya pegawainya terlalu besar..
    pertanyaan muncul dari para pemerhati pemerintah baik soal pengelolaan organisasi maupun sdm dalam arti jumlah dan kopetensinya.
    di sekolah pd semua level (sd s/d univ) tidak pernah dijelaskan apa itu pns dan apa itu swasta..sehingga seorang calon sarjana tdk pernah tahu bahwa peran apa nantinya setelah tamat sekolah.. alhasil hanya bermimpi bagaimana menjadi karyawan terutama pns…. pertanyaan sekarang seberapa banyak sdm dgn kompetensinya yang pas dibutuhkan untuk mengelola adm indonesia….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *